Wednesday 5 December 2012

Manusia Separuh Sayap


Pada awalnya aku seperti kepakan sayap yang terbang tanpa tujuan. Ya. Semacam burung tanpa mata. Selalu ingin mencapai awan tanpa berpikir apakah ini bahaya? Apakah aku akan jatuh? Apakah aku bisa menggapai makhluk-makhluk langit? Apakah aku akan mendarat  di bulan atau mars?


Ya begitulah. Pertanyaan yang semua disejajarkan dengan nalar tak pernah seimbang dengan perasaan bagaimana aku bisa menjadi utuh sekarang. Mengapa? Karena dulu sekali sejak aku mengenal sayap, aku hanya separuh dari jiwa manusia yang punya gravitas. Selain itu aku hanya serpihan kertas terbawa angin. Melayang dan terbang. Aku tak pernah punya kendali atas diriku sendiri. 

Sejak saat itu aku Cuma bisa tertawa tanpa merasa aku bahagia.  Aku menangis tanpa merasa sedih. Hambar. 

Setiap manusia yang bertanya itu wajar, dan mereka berhak mencari dan mendapatkan jawaban mereka. Tapi aku keterlaluan. Aku terlalu banyak menuntut jawaban. Padahal setelah beberapa lama aku baru menyadari, jawaban dari tanya-tanyaku Cuma sebatas jengkal. Ah bodohnya aku.

Aku juga seperti manusia lainnya. Tak pernah puas jika hanya ini saja yang kudapatkan. Aku punya ambisi. Aku punya kekuatan untuk meraih lapisan langit yang lebih tinggi. Aku mencoba mencuri kabar dari para penghuni langit, bertanya “bolehkah aku singgah ke langit? Menyaksikan dramatisasi bumi dari atas?” justru yang membuat aku trkejut adalah mereka mentertawakan kenaifan ku tentang hidup. Katanya aku terlalu berkhayal. 

Dasar penghuni langit yang tak berperasaan. Aku sudah lelah terbang, aku hanya ingin singgah sejenak untuk menyampaikan keresahan bumi. Tapi mereka tak menghiraukanku, mereka asyik berdebat bagaimana caranya menghancurkan manusia-manusia bumi yang serakah. 

Hei!!!!!! Jika ingin kau hancurkan. Ciptakan saja kiamat. Sahutku.

Yang kulihat kemudian adalah mereka ketakutan mendengar nama kiamat. Aku paham mereka bukan Tuhan, mereka bukan asisten sutradar kehidupan. Namun mereka tinggal di langit dan mereka pasti lebih dekat dengan Tuhan. Mengapa mereka begitu dungu hanya untuk hal semacam ini.

Rupanya, aku semakin dibenci, diseret ke jeruji besi, dirantai, tak ada makan dan minum, aku dibiarkan puasa berdekatan dengan matahari yang sangat garang. Apalagi malam juga belum beranjak sehingga aku merasa kepanasan.

Haha…..aku malah tertawa keenakan. Aku merasakan hangat menjalari tubuhku. Keringat-keringat dosa berkeliaran menyapu tubuh dekil ini. Mereka menghiraukan tawaku, teriakanku, aku menjadi diriku sendiri. Rupanya matahari telah menyadarkan kealpaanku sebagai manusia.

Aku manusia dengan sayap separuh dan masih bisa terbang menuju langit. Menyapa penghuni-penghuni berandal yang katanya dekat dengan Tuhan. Jawaban tanyaku juga akan kudapat setelah aku terlempar keluar langit, mendarat pelan di pijakan bumi yang selalu hijau karena hujan. Lega.

No comments:

Post a Comment