Monday 22 July 2013

Penari Langit



“Mengapa harus tarian langit?”
tanyaku pada sepi.

Kalau ada waktu duduk di sini atau membaringkan tubuh di kursi malas balkon kamar saat senja seperti sekarang ini, kemudian menghadapkan pandangan ke barat maka akan terlihat langit terang berparas jingga. Sinar oranye mulai meredup dan turun perlahan mengikuti irama gemerisik pepohonan tropis dari halaman kebun. Kepakan sayap ribuan burung pipit yang sibuk kembali ke sarangnya pun turut meramaikan ganasnya tarian langit. Jika lebih jeli perhatikan apa yang terkandung dalam senja sekarang ini, dan dengarkan irama-irama sendu, saksikan para dewa-dewi sedang menarikan tarian senjanya, menyambut purnama datang.

Kemudian saat malam tiba, purnama nampak di peraduan berhias semburat kekuningan. Suara khas jangkrik mencari mangsa, atau erangan kodok kelaparan menjadi pengiring gamelan alam. Deburan ombak yang pecah di pantai berpasir putih akan menjadi gong setiap gerak rancak menuju puncak malam temaram. Jika bisa menemukan titik-titik bintang yang mulai membentuk rasinya, maka saksikan dewa-dewi sedang menari berpesta pora menyambut purnama ke dua belas mereka.
Perubahan drastis terjadi manakala fajar tiba. Adzan subuh bergema, mengelu-elukan manusia terbangun dari mimpi menghadap Sang Cipta. Bukan cuma langit dan warna alam yang berubah, melainkan juga iramanya berubah lebih merdu. Bulan turun dari peraduan diiringi kicau burung yang berkeliaran keluar dari sarang, bahkan kokok ayam bersahutan menjadi tanda bagaimana langit pagi ini. Tak tahu pada detik ke berapa batas gelap mulai pudar, mendung tipis sedikit membuat langit muram. Itulah tanda dewa-dewi langit mulai turun menyemai kesuburan bumi.
“Jangan tertidur ketika aku menunjukkan tarianku sayang, kadang aku takut kau terbawa tarian dewa asmara dalam khayangannya” aku tersenyum terjaga oleh sapa manisnya.
“Bahkan aku sudah terhipnotis oleh salah satu dewa itu.” Jawabku.
“Siapa?”
“Kamu”
Dia tersenyum dengan muka cerah. Lehernya masih basah oleh keringat. Keringat yang harum cendana, entah apa yang dia pakai. Nampaknya dia selalu bermeditasi yoga sebelum memulai sebuah tarian. Aroma sakralnya masih beredar dalam ruangan dua puluh lima meter persegi yang selalu ia gunakan untuk mencipta tari.
***
“Langit itu seperti guru alam, suaranya kadang tenang ketika hari cerah, mungkin ada terselip bahagia di awan-awan sana. Kadang suara gemuruh tercipta ketika hujan hendak datang mungkin sedang marah karena manusia mengabaikannya”
“Bukankah mustahil mencipta tarian langit. Manusia hanya bisa menjangkau bumi, merasakan detak jantung bumi setiap detik saja manusia sudah bahagia untuk apa harus menjangkau langit yang tinggi?”
“Sebab langit adalah lapisan tipis antara semesta dengan kasih sayang Tuhan. Berkompromi dengan langit sangat penting bukan, agar kasih sayang Tuhan sampai kepada kita”
“Oya?”
“Bangsa Yunani saja percaya, dewa-dewi mereka yang ada di langit harus diberi sesembahan agar selalu sayang kepada manusia tanpa ada pertumpahan darah. Manusia mengadakan upacara ritual, tarian-tarian sakral untuk memuja memuji dewa dewi mereka”
“Lalu untuk apa kau harus berkompromi dengan langit?”
“Karena syukurku kepada Tuhan yang sudah memberikanku hidup, memberikan warna warni kehidupan hingga tak selalu hitam putih yang ku lihat.”
Demikianlah, aku dikenalkan olehnya refleksi tarian manusia mengarungi kehidupannya sebagai sebuah makna Tuhan mencipta setiap unsur alam. Dia begitu gamblang menceritakan betapa nikmatnya tubuh ini ketika mulai menari. Rasanya langit dan bumi menjadi satu, putaran bumi terhenti begitu kaki menghentak menggugah lagu alam yang mulai lirih terdengar.
Dia seorang penari. Seorang laki-laki. Seorang rupawan. Seorang idealis. Menari adalah jiwanya. Ketika sudah berada dalam irama tariannya akan menjadi sakral untuk dilewatkan. Wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat dewa, tariannya bak menghentak bumi dan mengalahkan seluruh dewa dewi yang menarikan tarian bumi. Aku sendiri seperti terhiptonis ketika suatu hari menemaninya menari. Kesabaranku juga hampir habis ketika dia tak menyadari ada kekasih yang setia menunggu latihan hingga sehari penuh.
***
Melihatmu, wahai penari.
Melihat, bagaimana kau berkompromi dengan langit. Menghaturkan syukur kepada Sang Cipta tentang nafas kehidupan. Kau begitu yakin akan menjadi penduduk langit, diterima penduduk langit dan diterima oleh penduduk bumi. Mimpimu sedikit menjadi nyata malam ini.
Malam purnama, pendar-pendar lampu merkuri  menghipnotis malam semakin hangat. Di tengan plaza terbuka, efek lampu panggung berpendaran menciptakan warna-warna temaran membuat panggung karnaval malam ini menjadi semakin sumringah Aku dan sejuta orang datang berduyun-duyun ke plaza pusat kota.
Puncak International Dance Modern Culture Festival dinanti oleh ribuan orang di kotaku. Acara tersebut akan menampilkan beberapa macam tarian daerah dari Indonesia serta menentukan siapa yang berhak meraih penghargaan Gubernur. Termasuk tarian langitnya, mewakili salah satu tarian modern ciptanya sendiri.
Menarikan langit adalah impian yang mustahil. Menari di langit sama saja dengan melawan angin. Angin tak begitu mudah goyah oleh sebuah tarian. Tarian apapun itu tak akan pernah bisa membuat angin tunduk dan mengikuti irama tarian tersebut. Tarian langit. Menari ke sana-sini sampai mati.
Apakah dia memang benar-benar mencari ilham untuk menarikan langit. Untuk membuat dewa dewi ikut menari bersamanya. Bahkan aku belum mampu menghadirkan lukisan hati untuknya. Ya, aku mencintainya. Seorang pemimpi yang ingin menjadi penari langit.
Mulailah ia menari, dengan satu tarikan nafas.
Aku begitu liar menafsirkan mimpi-mimpi buruk tentang tarian langit seribu bulan. Setelah bulan purnama berlalu berganti gerhana, dan malam menjadi semakin pekat. Melahirkan rasa, irama, bentuk, gerak, deru nafas yang berlarian karena mengejar tempo setiap iringan, dan panjatan doa setiap akan mengawali tarian langitmu.
Mungkin begitulah nasib nafasku. Nasib jiwaku. Nasib nafasmu. Nasib jiwamu.
Tak sempat ku bersua pada Sang Cipta. Tak sempat langit bergradasi mengabarkan hari sudah berganti. Tak sempat pula ku berpamitan dengan lelaki angan yang berambisi sebagai penari langit. Lelaki penari langit itu sudah menjadi inspirasiku sejak lama. Inspirasi setiap malam sunyi saat Tuhan tak menghendaki kehangatan menemani kesendirianku. Jiwanya kutumpahkan ke dalam kanvas. Belum sempurna. Setiap waktu luang selalu kugores warna kehidupan dalam lukisan itu. Warna kehidupan yang kubangun dengan cinta. Aku tak sabar ingin menyelesaikannya namun aku juga tak ingin terburu oleh nafsu. Biarlah lukisan itu berakhir seiring dengan berakhirnya dia mencipta tarian langitnya.
“Sedikit lagi sayang, tuntaskan tarian itu dan bersualah dengan kerinduanku.” Gumanku saat dia berada di puncak tarian.
Saat ku tengadahkan mata ke langit kulihat seolah langit tergugah untuk menyesap semua energi penariku. Ia begitu megah dengan mendung bergelantungan. Burung malam mulai bertebangan dari sarangnya. Malam semakin panas. Tubuhnya yang hanya bertelanjang dada sudah mulai berkeringat. Napasnya memburu. Iringan musik semakin riuh. Para penonton semakin bernapas satu-satu. Aku? Aku tak tahu yang kurasa. Aku hanya terpana. Melihat tubuh eksotisnya, tariannya dan penghayatannya menghipnotisku seperti biasa saat latihan sebelumnya.
Dan tiba-tiba musik berhenti. Suara alam berhenti. Penonton menghempaskan napas mereka yang tertahan. Aku tersadar dari hipnotis panjang. Ia berhenti menggerakkan tubuhnya dan berlalu ke belakang panggung. Satu detik, dua detik, tiga detik. Aku sadar kemudian begitu banyak tangan bertepuk riuh.
Lalu dengan begitu, apakah tariannya akan menjadi sempurna?

No comments:

Post a Comment