Saturday, 1 February 2014

Rumahku





Ijinkan saya bercerita, bercerita membuat saya lega dengan emosi saya. Saya bahkan harus berbicara dengan seekor kucing jika saya tak bisa mengontrol emosi saya sedemikian rupa. Saya begitu naif memaknakan hidup hanya untuk tersenyum dan menangis. Rupanya lebih dari itu, dan saat ini saya merasakan suasana hambar di dalam sebuah rumah, tempat tinggal keluarga besar saya.
Rumah? Yang kadang membuat saya harus berpikir 100 kali lipat dari biasanya. Orang mudah saja mengatakan rumah itu tempak tidur dimalam hari tanpa bulan, rumah juga tempat berkumpul sanak keluarga, rumah tempat mencurahkan semua keluh kesah seharian sedang yang mendengarkan dan saling memberi nasihat. Saya tertegun beberapa saat, karena....saya belum bisa memahami mengapa sebuah rumah dapat memberikan rasa bahagia setiap manusia.
Rumah yang saya maksud, termasuk dalam kategori rumah jawa kuno dengan beberapa bagian penting yang menjadi ciri khasnya. Sebuah rumah berukuran 480 meter persegi, dikelilingi halaman besar dan disekitarnya ditanami pohon-pohon berbuah musiman dan sayur-mayur ringan, seperti lombok, bayam, pare, ketela pohung, pepaya, rambutan dan sawo, mungkin masih ada beberapa tanaman hias yang setiap hari terlihat gersang.
Bagian depan rumah berbentuk pendopo, berupa sebuah ruangan luas dengan empat pilar kayu yang menyangga bagian empat sudut rumah karena rumah tersebut berbentuk limasan. Kemudian semakin masuk ke dalam, memasuki sebuah senthong atau kamar-kamar yang artistik dengan pintu-pintu besar tinggi menjulang, lantainya pun masih sederhana, hanya porselen kuno dan tidak mudah dihancurkan, konon masih mengandung marmer alami. Dapur, sumur, kamar mandi dan gudang terletak di bagian luar bangunan induk di paling belakang. Mungkin begitulah gambaran rumah saya.
Semua orang mendambakan arsitektur rumah seperti itu, dengan halaman luas di tengah kota, di lingkungan kraton dan paling dalam menjorok dalam perkampungan sederhana, membuat rumah ini disaat malam seperti kuburan berpenghuni manusia hidup. Kata orang, rumah tersebut banyak penunggunya, namun saya menyangsikan, bagaimana bisa? Sedang saya pun tak pernah menjumpai barang sekelebat pun.
Rumah. Definisi rumah mungkin adalah sebuah tempat untuk bernaung secara lahir dan batin. Rumah tak akan pernah ada jika tidak ada sebuah keluarga yang menempati dengan sebuah hierarki yang pasti. Tanpa ruang tamu, tanpa kamar tidur, tanpa jamban, tanpa dapur. Rumah hanya sebuah ruang untuk dapat melepas dahaga, lapar dan penat. Rumah yang tak pernah sepi oleh tawa dan senyum bahagia. Rumah yang selalu riuh oleh heningnya malam menjadi pengantar tidur yang tak pernah dihinggapi mimpi buruk. Rumah. Rumah. Aku merindukan sebuah rumah yang tenang, damai dan selalu ada jika aku butuh.
Anehnya, yang membuat saya bertanya-tanya justru, rumah tersebut seperti memancarkan hawa panas. Panas yang membuat emosi setiap penghuninya menjadi tidak stabil. Rumah besar itu dihuni oleh dua keluarga, dan simbah putri yang masih hidup hingga sekarang. Batas tertentu tanpa pernah kami sadari telah tercipta membentuk wilayah teritori kekuasaan antar dua keluarga tersebut. Walaupun putra-putri simbah 10 orang banyaknya, karena diantara mereka ada yang sudah berdiam di kota-kota lain, dan tinggal dua keluarga ini yang akhirnya diberi hak untuk menempati rumah keluarga tersebut sekaligus mengurus simbah putri yang sudah mulai menua.
Lalu pantaskan aku disebut sebagai penghuni rumah yang tak pernah merasa bahagia.  Pantaskah aku bisa menjadi penghuni rumah dengan semua kegilaan penghuninya jika diantaranya adalah seorang jahat, seorang setan, seorang jalang, seorang idealis, seorang maling, seorang egois, seorang penghasut, seorang yang tak menganggap orang lain adalah juga bagian dari keluarganya.
Rumah begitukah yang selalu ada dalam duniaku. Padahal aku merindukan sebuah rumah seperti yang digambarkan oleh orang-orang alim, rumahku surgaku, bukannya rumahku nerakaku. Walaupun aku menjadi bagian dari mereka aku juga tak pernah tahu mengapa aku ditakdirkan menjadi bagian dari mereka.


No comments:

Post a Comment