Ijinkan saya bercerita, bercerita
membuat saya lega dengan emosi saya. Saya bahkan harus berbicara dengan seekor
kucing jika saya tak bisa mengontrol emosi saya sedemikian rupa. Saya begitu
naif memaknakan hidup hanya untuk tersenyum dan menangis. Rupanya lebih dari
itu, dan saat ini saya merasakan suasana hambar di dalam sebuah rumah, tempat
tinggal keluarga besar saya.
Rumah? Yang kadang membuat saya harus
berpikir 100 kali lipat dari biasanya. Orang mudah saja mengatakan rumah itu
tempak tidur dimalam hari tanpa bulan, rumah juga tempat berkumpul sanak
keluarga, rumah tempat mencurahkan semua keluh kesah seharian sedang yang
mendengarkan dan saling memberi nasihat. Saya tertegun beberapa saat,
karena....saya belum bisa memahami mengapa sebuah rumah dapat memberikan rasa
bahagia setiap manusia.
Rumah yang saya maksud, termasuk dalam
kategori rumah jawa kuno dengan beberapa bagian penting yang menjadi ciri
khasnya. Sebuah rumah berukuran 480 meter persegi, dikelilingi halaman besar
dan disekitarnya ditanami pohon-pohon berbuah musiman dan sayur-mayur ringan,
seperti lombok, bayam, pare, ketela pohung, pepaya, rambutan dan sawo, mungkin
masih ada beberapa tanaman hias yang setiap hari terlihat gersang.
Bagian depan rumah berbentuk pendopo,
berupa sebuah ruangan luas dengan empat pilar kayu yang menyangga bagian empat
sudut rumah karena rumah tersebut berbentuk limasan. Kemudian semakin masuk ke
dalam, memasuki sebuah senthong atau kamar-kamar yang artistik dengan
pintu-pintu besar tinggi menjulang, lantainya pun masih sederhana, hanya
porselen kuno dan tidak mudah dihancurkan, konon masih mengandung marmer alami.
Dapur, sumur, kamar mandi dan gudang terletak di bagian luar bangunan induk di
paling belakang. Mungkin begitulah gambaran rumah saya.
Semua orang mendambakan arsitektur rumah
seperti itu, dengan halaman luas di tengah kota, di lingkungan kraton dan
paling dalam menjorok dalam perkampungan sederhana, membuat rumah ini disaat
malam seperti kuburan berpenghuni manusia hidup. Kata orang, rumah tersebut banyak
penunggunya, namun saya menyangsikan, bagaimana bisa? Sedang saya pun tak
pernah menjumpai barang sekelebat pun.
Rumah. Definisi rumah mungkin adalah
sebuah tempat untuk bernaung secara lahir dan batin. Rumah tak akan pernah ada
jika tidak ada sebuah keluarga yang menempati dengan sebuah hierarki yang
pasti. Tanpa ruang tamu, tanpa kamar tidur, tanpa jamban, tanpa dapur. Rumah
hanya sebuah ruang untuk dapat melepas dahaga, lapar dan penat. Rumah yang tak
pernah sepi oleh tawa dan senyum bahagia. Rumah yang selalu riuh oleh heningnya
malam menjadi pengantar tidur yang tak pernah dihinggapi mimpi buruk. Rumah.
Rumah. Aku merindukan sebuah rumah yang tenang, damai dan selalu ada jika aku
butuh.
Anehnya, yang membuat saya
bertanya-tanya justru, rumah tersebut seperti memancarkan hawa panas. Panas
yang membuat emosi setiap penghuninya menjadi tidak stabil. Rumah besar itu
dihuni oleh dua keluarga, dan simbah putri yang masih hidup hingga sekarang.
Batas tertentu tanpa pernah kami sadari telah tercipta membentuk wilayah
teritori kekuasaan antar dua keluarga tersebut. Walaupun putra-putri simbah 10
orang banyaknya, karena diantara mereka ada yang sudah berdiam di kota-kota
lain, dan tinggal dua keluarga ini yang akhirnya diberi hak untuk menempati
rumah keluarga tersebut sekaligus mengurus simbah putri yang sudah mulai menua.
Lalu pantaskan aku disebut sebagai
penghuni rumah yang tak pernah merasa bahagia.
Pantaskah aku bisa menjadi penghuni rumah dengan semua kegilaan
penghuninya jika diantaranya adalah seorang jahat, seorang setan, seorang
jalang, seorang idealis, seorang maling, seorang egois, seorang penghasut,
seorang yang tak menganggap orang lain adalah juga bagian dari keluarganya.
Rumah begitukah yang selalu ada dalam
duniaku. Padahal aku merindukan sebuah rumah seperti yang digambarkan oleh
orang-orang alim, rumahku surgaku, bukannya rumahku nerakaku. Walaupun aku
menjadi bagian dari mereka aku juga tak pernah tahu mengapa aku ditakdirkan
menjadi bagian dari mereka.
No comments:
Post a Comment