Tuesday, 10 January 2012

Tidurlah Teman


Tidurlah teman, tidur nyenyak setelah berhari-hari kau arungi lautan hidup penuh derita. Aku ada di sisi menemanimu hingga kau terjaga pagi nanti. Membuatkan segelas susu dan setangkup roti panggang. Bukankah itu yang kau inginkan agar cepat berganti hari, agar cepat kau lupakan masalahmu.

 Dia datang ke Klinik Psikologiku di suatu pagi gerimis, tak hanya itu, wajahnya bersimbah air mata dengan hati membuncah ingin segera ditumpahkan. Dia hampir gila sebelum aku membantunya bercerita walau tertatih. Dia mengalami trauma dengan cinta, seorang pemuja pemuja cinta dan kehilangan cinta yang seharusnya ia puja. Maka setelah hari kelabu itu seorang perempuan cantik peraih cum laude di kampusnya tersebut rutin berkunjung datang ke klinik. Aku hanya mendengarkan ia bercerita tentang masa lalunya, kisah cintanya. Tak lebih. 

 
“Hidupku hilang separuh arti. Ada separuh lagi berisi namun hambar. Aku tak sanggup mengingkari kenyataan namun aku pun tak kuat menjalaninya” kalimatnya selalu begitu, berbelit-belit, aku harus mencerna satu per satu.
Perempuan itu bernama Masayu, selalu datang di sela-sela kesibukan kerjanya sebagai account advisor. Dia selalu menepati janji pertemuan denganku untuk menyembuhkan lukanya seperti dia telah berjanji dengan seorang kliennya. Pertama mengenal memang dia tampak sempurna, cantik, elegan dan cerdas. Masayu orang yang gigih mempertahankan pendapatnya, tak senang jika ceritanya disela, maka kubiarkan saja dia bercerita apa saja, tentu tentang kehidupan cintanya yang bak kapal karam.
Namun setelah aku mendengarkan cerita-ceritanya, caranya menuturkan cerita tersebut, melihatnya lebih sering menangis, aku menilai Masayu bukan orang sempurna. Dia butuh sandaran, sayangnya tak ada satupun teman di sampingnya, kedua orang tuanya telah tiada saat dia masih kecil, saudara-saudaranya pergi dengan urusan masing-masing. Masayu dibesarkan dalam lingkungan modern cenderung ke budaya barat yang membebaskan salah satu keluarganya menentukan pilihan sendiri sejak menginjak usia 18 tahun. Itulah yang sangat disayangkan dengan kehidupan Masayu, sangat hambar dan tak paham apa arti sebuah keluarga. Tempat seseorang bisa berkeluh kesah dengan bebas, tempat seseorang tertawa tanpa aturan mengikat.
***
“Kau tahu apa yang membuatku tak paham apa itu keluarga? Saat aku berulang tahun ke 13 dan mendapatkan menstruasi pertama, saat aku tak tahu bagaimana menggunakan pembalut wanita, saat aku tak tahu apa itu cinta pertama, apa itu pacaran, saat aku bertanya itu semua kepada kakak-kakakku, mereka bukannya menjawab, malah mengata-ngataiku anak goblok yang tak tahu apa-apa” ujarnya suatu siang di sebuah restoran Jepang.
Kami bertemu di sana karena Masayu kebetulan baru saja bertemu kliennya di café sebelah dan memutuskan bertemu di restoran Jepang ini sambil makan siang. Lebih dekat alasannya. Aku langsung menuju ke sana, menunggu sekitar lima belas menit sebelum dia datang dengan balutan blazer abu-abu dan rok pant selutut. Rambut dia biarkan tergerai bergelombang, lengannya dihiasi tas Armani yang terkenal mahal. Perfecto.
“Bukankah dengan tidak tahu apa-apa aku wajib bertanya agar tahu?” Kalimat retorik. Masayu selalu begitu, selalu mempertanyakan hal yang tak pernah ku jawab ya atau tidak, biarlah dia menemukan jawaban itu sembari dia bercerita, karena memang selalu begitu.
“Kemudian Hanif, seorang lelaki sempurna datang dari langit, memberi secuil hatinya. Dia memujaku dan aku pun begitu. Kami tergila-gila dan saling mencintai. Aku bangga pernah menjadi cintanya.” Matanya menerawang seolah membayangkan kisah cinta mereka yang bersemi indah.
“Lalu kenapa kalian berpisah?” tanyaku.
“Karena Hanif mulai tahu, aku tak punya siapa-siapa jauh dari kesempurnaan. Percuma Gan, aku menutup diriku dengan baju-baju mahal bermerk, dengan polesan make-up tebal, kalau akhirnya kekasih yang paling aku cinta tahu hatiku hanya sebelah, hatiku tak pernah utuh untuknya.”
“Kau selingkuh?”
“Kau menuduhku selingkuh sama seperti Hanif. Padahal semakin aku mencintai Hanif aku tak berani bertingkah macam-macam. Hanya hatiku ini…. Hatiku yang sudah semula tak pernah utuh sejak kecil, karena kurang kasih sayang membuat aku egois, tak mau mengalah dan….”
Masayu terisak tak kuat melanjutkan ceritanya. Ya, aku mulai mengerti mengapa Hanif  meninggalkan Masayu. Separuh hati Masayu terisi oleh dirinya sendiri.
“Aku terlalu mencintai hidupku, dari dulu sejak aku mulai tahu aku harus sendiri, lebih mengandalkan diriku sendiri, berdikari, bangga dengan apa yang kuhasilkan, aku tak pernah berpikir orang lain akan bangga denganku, karena aku meraihnya untuk diriku sendiri. Aku…. Egois kan Gan?” lanjutnya.
“Apakah kapasitas cintamu pada Hanif yang separuh itu harus berbagi dengan cinta pada hidupmu sendiri?”
“Ya, kau percaya kan cinta pertama akan selalu abadi, maka aku memutuskan cinta pertamaku adalah hidupku sendiri, aku ada karena sesuatu yang kumiliki hanya diriku ini
Sungguh aneh apa yang dialami Masayu. Perempuan dengan sejuta pesona, bahkan aku yang terpesona dengan kecantikannya harus melawan dirinya sendiri. Masayu mengalami Narcissistic Personality Disorder (NPD), terlalu mencintai dirinya sendiri dan tak pernah memikirkan perasaan orang lain karena hanya dia sendiri yang dia pikirkan. Begitulah, aku pun bahkan belum tahu obat apa untuk menyembuhkan penyakit narsis tersebut. Biasanya narsis-narsis jaman sekarang hanya sebatas senang di foto lalu foto-fotonya banyak terpampang di situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, atau yang lainnya. Narsis yang di derita Masayu terlalu akut menurutku.
“Bicaralah Gan, Aku bosan melihat kau melahap mie ramen dengan enaknya” Tegur Masayu yang melihatku asyik menikmati semangkuk mie ramen. Gantian dia yang meraih sepiring tempura yang mulai mendingin.
“Bicara apa? Bukankah kau minta aku hanya mendengarkan ceritamu.” Ujarku. Selama makan tadi aku juga berpikir tentang penyakit yang diderita Masayu. Sebenarnya bukan penyakit hanya sindrom.
“Aku butuh saranmu sekarang, apa yang harus aku lakukan agar bisa bebas bernafas. Tiap malam nafasku sering sesak, terisak-isak lalu menangis. Ah…. Kenapa aku jadi perempuan cengeng seperti ini?” keluhnya.
“Kau perlu liburan, dua atau tiga hari”
“Libur? Kau pikir aku pejabat DPR yang seenaknya aja bisa liburan kemanapun aku mau… aku punya tanggung jawab terhadap klien-klienku. Bagaimana mereka menjalani keuangan mereka tanpa bantuanku?” Masayu sedikit protes dengan usul yang kuutarakan itu.
“Bagaimana kamu jadi penasehat keuangan kalau hati kamu sendiri belum stabil. Hati kamu juga butuh bantuan, bukan keuangan mereka saja yang kamu tangani namun hatimu juga.” Kupertahankan argumen sehingga membuat dia berpikir sejenak.
“Ya, mungkin benar, aku akan ambil cuti ke Bali. Kau ikut kan?” cetusnya.
“Heh?” Aku justru kaget dengan keinginannya itu.
“Ayolah dokter Gani, kubayar kamu mahal untuk menemani aku, memberiku saran terbaikmu.”
“Kalau kau butuh teman, kau tak perlu membayar aku mahal dengan uangmu.” Aku tersinggung dengan ucapannya itu. Seorang teman tak bisa dibayar dengan apapun juga, aku menjadi kasihan dengan Masayu. Hanya demi seorang teman dia rela membayar mahal datang ke klinikku dan menjadikan aku teman curhatnya bukan antara klien dan psikiater yang membutuhkan saran sesaat.
“Dokter Gani!” tegurnya melihatku malah melamun.
“Ya, aku akan ke Bali denganmu, mungkin kamu butuh teman curhat di sana. Tapi jangan panggil aku Dokter oke?” ujarku.
“Kenapa?”
“Kalau kau panggil aku dokter, kau harus membayar aku. Tapi aku tidak butuh dibayar. Aku menemanimu sebagai seorang teman.” Kukembangkan senyumku, namun dia tak menanggapinya hanya berkata lirih namun tegas.
“Nanti aku pesan tiket, besok kita berangkat pagi.” Pertemuan kami sudahi, Masayu harus bertemu kliennya yang lain dan aku harus kembali ke klinikku kembali bekerja.
***
Masayu dengan kecantikannya telah memberangus seluruh hati, dia sempat menawarkan diri agar aku masuk ke dalam ruang hatinya. Sayangnya, aku menolak. Aku seorang profesional, bertaruh dengan nama baik memang sangat begitu penting, beruntung dia mau mengerti. Maka ketika keesokan harinya Masayu meneleponku membatalkan acara liburan di Bali aku tidak terkejut. Dia lebih memilih cuti dua minggu dari pekerjaan mencoba mencari jawaban mengapa dia lebih mencintai dirinya.
Beberapa hari kami tak sempat bertemu, Masayu bahkan belum menghubungiku sejak saat itu. Aku menyibukkan diri dengan beberapa klien yang bermasalah dengan perkawinan mereka. Sebenarnya aku merindukan kehadiran Masayu, seorang wanita mandiri dan cantik. 
Tiba-tiba saja, handphone yang kuletakkan di samping buku kerja berbunyi nyaring. Masayu, namanya tertera dilayar berpendar menjerit minta jawaban. Aku segera mengangkatnya.
“Gani, bisakah kau datang ke apartemenku sekarang, aku butuh teman. Sekarang.” Suaranya lirih seperti biasa namun tanpa semangat. Ada yang aneh dengan dirinya, perasaanku juga sedikit tak enak, negative thinking.
Tanpa pikir panjang aku segera menuju ke apartemen yang letaknya tak jauh dari pusat kota, 20 menit perjalanan dari kantorku. Aku ingin mengetahui keadaannya setelah beberapa hari lepas kontak. Bukankah dia masih klienku?
***

Masayu masih seperti  kemarin-kemarin. Masih ada sisa penderitaan di binar matanya. Aku seperti mendengar dia menjerit dalam hati, mencari bantuan agar bisa terangkat dari jurang curam yang membuat dia seperti gadis pesakitan. Aku miris melihat Masayu hanya menyandarkan kepalanya di bahuku. Tanpa berucap. Disekeliling tempat tidurnya sudah dipenuhi sampah kaleng soft drink dan bekas bungkus camilan.
“Gan, aku lelah dengan hidupku sendiri?” ujarnya gagu dengan isak tangis yang tertahan.
“Mengapa harus letih? Kau tidak sendiri kan?”
“Mengapa Gan? Itulah yang jadi pertanyaanku setiap malam. Aku merasa diriku sendiri tak punya makna apa-apa. Aku menemukan diriku kosong tak berarti, haruskah aku mencari teman Gan?”
“Teman sejati memang ada dalam diri kita sediri, namun yang paling sejati adalah ketika kita menemukan seseorang yang menjadi muara suka duka kita.” Kataku.
Sudah terlalu lama Masayu mengarungi hidup sendirian, sampai dia mengandalkan diri sendiri untuk merasa paling pantas berada dalam dunia ini. Kecantikannya, kecerdasannya dan ketakutannya akan sepi membuat dia sedikit merasa unggul di banding yang lain. Bahkan setelah malam itu, Masayu tak pernah menyadari ada aku yang berada di sampingnya, mendengar keluh kesahnya. Masayu sudah berada dalam dunianya sendiri.
Tidurlah Masayu, ada bahu yang selalu siap menampung beban hatimu, menampung air mata kesendirianmu. Kau bahkan tak perlu takut membuka mata menikmati kesendirianmu. Kau harus menjadi dirimu sendiri dengan seorang teman di sampingmu yaitu aku.
Yogya, 9 Januari 2012

2 comments:

  1. narsis di poto2 emg masih emnding daripada kena Narcissistic Personality Disorder . Bagus, tingkatkan sist, :D

    ReplyDelete
  2. Like this
    banyak ya, sekarang ini penyakit narsis-narsisan

    ReplyDelete