Pada awalnya aku seperti kepakan sayap yang
terbang tanpa tujuan. Ya. Semacam burung tanpa mata. Selalu ingin mencapai awan
tanpa berpikir apakah ini bahaya? Apakah aku akan jatuh? Apakah aku bisa
menggapai makhluk-makhluk langit? Apakah aku akan mendarat di bulan atau mars?
Ya begitulah. Pertanyaan yang semua
disejajarkan dengan nalar tak pernah seimbang dengan perasaan bagaimana aku
bisa menjadi utuh sekarang. Mengapa? Karena dulu sekali sejak aku mengenal
sayap, aku hanya separuh dari jiwa manusia yang punya gravitas. Selain itu aku
hanya serpihan kertas terbawa angin. Melayang dan terbang. Aku tak pernah punya
kendali atas diriku sendiri.
Sejak saat itu aku Cuma bisa tertawa tanpa
merasa aku bahagia. Aku menangis tanpa
merasa sedih. Hambar.
Setiap manusia yang bertanya itu wajar, dan
mereka berhak mencari dan mendapatkan jawaban mereka. Tapi aku keterlaluan. Aku
terlalu banyak menuntut jawaban. Padahal setelah beberapa lama aku baru
menyadari, jawaban dari tanya-tanyaku Cuma sebatas jengkal. Ah bodohnya aku.
Aku juga seperti manusia lainnya. Tak pernah
puas jika hanya ini saja yang kudapatkan. Aku punya ambisi. Aku punya kekuatan
untuk meraih lapisan langit yang lebih tinggi. Aku mencoba mencuri kabar dari
para penghuni langit, bertanya “bolehkah aku singgah ke langit? Menyaksikan dramatisasi
bumi dari atas?” justru yang membuat aku trkejut adalah mereka mentertawakan
kenaifan ku tentang hidup. Katanya aku terlalu berkhayal.
Dasar penghuni langit yang tak berperasaan.
Aku sudah lelah terbang, aku hanya ingin singgah sejenak untuk menyampaikan
keresahan bumi. Tapi mereka tak menghiraukanku, mereka asyik berdebat bagaimana
caranya menghancurkan manusia-manusia bumi yang serakah.
Hei!!!!!! Jika ingin kau hancurkan. Ciptakan
saja kiamat. Sahutku.
Yang kulihat kemudian adalah mereka
ketakutan mendengar nama kiamat. Aku paham mereka bukan Tuhan, mereka bukan
asisten sutradar kehidupan. Namun mereka tinggal di langit dan mereka pasti
lebih dekat dengan Tuhan. Mengapa mereka begitu dungu hanya untuk hal semacam
ini.
Rupanya, aku semakin dibenci, diseret ke jeruji
besi, dirantai, tak ada makan dan minum, aku dibiarkan puasa berdekatan dengan
matahari yang sangat garang. Apalagi malam juga belum beranjak sehingga aku
merasa kepanasan.
Haha…..aku malah tertawa keenakan. Aku merasakan
hangat menjalari tubuhku. Keringat-keringat dosa berkeliaran menyapu tubuh
dekil ini. Mereka menghiraukan tawaku, teriakanku, aku menjadi diriku sendiri. Rupanya
matahari telah menyadarkan kealpaanku sebagai manusia.
Aku manusia dengan sayap separuh dan masih
bisa terbang menuju langit. Menyapa penghuni-penghuni berandal yang katanya
dekat dengan Tuhan. Jawaban tanyaku juga akan kudapat setelah aku terlempar
keluar langit, mendarat pelan di pijakan bumi yang selalu hijau karena hujan. Lega.
No comments:
Post a Comment