Taman. Kolam ikan dengan air mancur. Kursi-kursi
yang dipenuhi manusia-manusia bahagia. Pedagang kopi keliling sibuk melayani
pembeli dengan ramah. Anjing piaraan ber guk-guk ria me-nginthil majikannya, berlarian. Manusia-manusia bahagia tersebut
nampaknya tak sadar salah satu mereka yaitu aku, sedang tidak bahagia. Mereka
seolah membutakan mata tak melihat aku menangis dan berteriak minta
pertolongan. Mereka tak memahamiku sebagaimana mereka sebagai manusia. Mereka
menganggap aku lebih buruk dari anjing piaraan mereka. Mereka. Ya mereka itu
manusia bahagia namun tak bisa membahagiakan orang sekitarnya.
Kadang aku bertemu dengan barisan pertanyaan. Sedang
apa, sedang dimana, sedang bagaimana, mengapa ini, mengapa itu, mengapa aku
harus aku, mengapa semua manusia punya hati untuk merasa, punya pikiran untuk
berlogika. Barisan pertanyaan itu hijrah dari satu manusia ke manusia lainnya,
mereka nyinyir mempertanyakan bagaimana hidup itu harus ada.
Layaknya bulan dan bintang yang bersatu menerangi
malam untuk bumi, manusia juga begitu, mereka bersatu padu menerangi manusia
lain yang kegelapan. Namun dua hal tersebut menjadi berbeda karena kesetiaan.
Bulan dan bintang adalah bentuk loyalitas tertinggi untuk bumi, sedangkan
manusia hanya bersikap ketika ada sentilan dari jari tangan Tuhan.
Saat manusia hilang, dan tak pernah kembali ke
dunia. Itulah pertanda manusia dalam perjalanan ke keabadian. Dan saat manusia
hadir kembali melalui mimpi itu bukanlah reinkarnasi tapi hanya bayangan sesaat
yang mengingatkan bahwa manusia tersebut pernah hidup didunia entah tahun
keberapa.
Misteri. Kadang kita sering bertanya-tanya. Adakah
yang lebih hebat dari rahasia Tuhan. Rahasia rahasia itu kadang kita ketahui
terlambat, bukan. Bukan terlambat. Kita saja yang tak pernah menyadari Tuhan
sudah memberikan banyak pertanda apapun wujudnya. Begitu juga kematian manusia.
Semua adalah misteri yang megah untuk bisa ditebak manusia.
Manusia dan Tuhan berada dalam jalur vertical,
ketika kita membutuhkan Tuhan maka yang ada adalah tangan kita menengadah ke
atas. Seolah meminta pada langit yang menjadi perwakilan Tuhan di atas sana.
Hei manusia, tidakkah kau sadar Tuhan itu lebih dekat dari urat nadi kita?
Ketika kita berjalan, maka Tuhan akan menghampiri kita dengan berlari. Ketika
kita berlari seribu langkah maka Tuhan akan berlari 10.000 langkah.
Memaknai Tuhan seperti kita mempercayai ajaranNya.
Tuhan manusia bermacam-macam, namun kita perlu percaya satu ajaran yang membuat
kita selalu ingat dengan pencipta kita. Itulah mengapa manusia membutuhkan
perenungan dalam jalan hidupnya, mencoba mengenali siapa dirinya, menanyai apa
tujuan kita hidup di dunia dan untuk apa kita harus selalu mengingat Tuhan.
Manusia yang baik adalah yang selalu menyertakan
nama Tuhan dalam setiap gerak langkahnya. Kita tak akan pernah tahu kapan kita
jatuh kebawah terantuk batu, menangis darah. Namun yang perlu kita lakukan
adalah selalu ingat. Bukan melupakan apapun yang terjadi pada diri kita selama
ini.
No comments:
Post a Comment