“Mengapa
harus tarian langit?”
tanyaku
pada sepi.
Kalau ada waktu duduk di sini atau
membaringkan tubuh di kursi malas balkon kamar saat senja seperti sekarang ini,
kemudian menghadapkan pandangan ke barat maka akan terlihat langit terang berparas
jingga. Sinar oranye mulai meredup dan turun perlahan mengikuti irama gemerisik
pepohonan tropis dari halaman kebun. Kepakan sayap ribuan burung pipit yang
sibuk kembali ke sarangnya pun turut meramaikan ganasnya tarian langit. Jika
lebih jeli perhatikan apa yang terkandung dalam senja sekarang ini, dan
dengarkan irama-irama sendu, saksikan para dewa-dewi sedang menarikan tarian
senjanya, menyambut purnama datang.
Kemudian saat malam tiba, purnama nampak
di peraduan berhias semburat kekuningan. Suara khas jangkrik mencari mangsa,
atau erangan kodok kelaparan menjadi pengiring gamelan alam. Deburan ombak yang
pecah di pantai berpasir putih akan menjadi gong setiap gerak rancak menuju
puncak malam temaram. Jika bisa menemukan titik-titik bintang yang mulai
membentuk rasinya, maka saksikan dewa-dewi sedang menari berpesta pora
menyambut purnama ke dua belas mereka.
Perubahan drastis terjadi manakala
fajar tiba. Adzan subuh bergema, mengelu-elukan manusia terbangun dari mimpi
menghadap Sang Cipta. Bukan cuma langit dan warna alam yang berubah, melainkan
juga iramanya berubah lebih merdu. Bulan turun dari peraduan diiringi kicau
burung yang berkeliaran keluar dari sarang, bahkan kokok ayam bersahutan menjadi
tanda bagaimana langit pagi ini. Tak tahu pada detik ke berapa batas gelap
mulai pudar, mendung tipis sedikit membuat langit muram. Itulah tanda dewa-dewi
langit mulai turun menyemai kesuburan bumi.
“Jangan tertidur ketika aku
menunjukkan tarianku sayang, kadang aku takut kau terbawa tarian dewa asmara
dalam khayangannya” aku tersenyum terjaga oleh sapa manisnya.
“Bahkan aku sudah terhipnotis oleh
salah satu dewa itu.” Jawabku.
“Siapa?”
“Kamu”
Dia tersenyum dengan muka cerah.
Lehernya masih basah oleh keringat. Keringat yang harum cendana, entah apa
yang dia pakai. Nampaknya dia
selalu bermeditasi yoga sebelum memulai sebuah tarian. Aroma sakralnya masih
beredar dalam ruangan dua puluh lima meter persegi yang selalu ia gunakan untuk
mencipta tari.
***
“Langit itu seperti guru alam,
suaranya kadang tenang ketika hari cerah, mungkin ada terselip bahagia di
awan-awan sana. Kadang suara gemuruh tercipta ketika hujan hendak datang
mungkin sedang marah karena manusia mengabaikannya”
“Bukankah mustahil mencipta tarian
langit. Manusia hanya bisa menjangkau bumi, merasakan detak jantung bumi setiap
detik saja manusia sudah bahagia untuk apa harus menjangkau langit yang
tinggi?”
“Sebab langit adalah lapisan tipis
antara semesta dengan kasih sayang Tuhan. Berkompromi dengan langit sangat
penting bukan, agar kasih sayang Tuhan sampai kepada kita”
“Oya?”
“Bangsa Yunani saja percaya, dewa-dewi
mereka yang ada di langit harus diberi sesembahan agar selalu sayang kepada
manusia tanpa ada pertumpahan darah. Manusia mengadakan upacara ritual,
tarian-tarian sakral untuk memuja memuji dewa dewi mereka”
“Lalu untuk apa kau harus berkompromi
dengan langit?”
“Karena syukurku kepada Tuhan yang
sudah memberikanku hidup, memberikan warna warni kehidupan hingga tak selalu hitam putih yang ku lihat.”
Demikianlah, aku dikenalkan olehnya refleksi
tarian manusia mengarungi kehidupannya sebagai sebuah makna Tuhan mencipta
setiap unsur alam. Dia begitu gamblang menceritakan betapa nikmatnya tubuh ini
ketika mulai menari. Rasanya langit dan bumi menjadi satu, putaran bumi
terhenti begitu kaki menghentak menggugah lagu alam yang mulai lirih terdengar.
Dia seorang penari. Seorang laki-laki.
Seorang rupawan. Seorang idealis. Menari adalah jiwanya. Ketika sudah berada
dalam irama tariannya akan menjadi sakral untuk dilewatkan. Wajahnya
menyiratkan keseriusan tingkat dewa, tariannya bak menghentak bumi dan
mengalahkan seluruh dewa dewi yang menarikan tarian bumi. Aku sendiri seperti
terhiptonis ketika suatu hari menemaninya menari. Kesabaranku juga hampir habis
ketika dia tak menyadari ada kekasih yang setia menunggu latihan hingga sehari
penuh.
***
Melihatmu, wahai penari.
Melihat, bagaimana kau berkompromi dengan
langit. Menghaturkan syukur kepada Sang Cipta tentang nafas kehidupan. Kau
begitu yakin akan menjadi penduduk langit, diterima penduduk langit dan
diterima oleh penduduk bumi. Mimpimu sedikit menjadi nyata malam ini.
Malam purnama, pendar-pendar lampu
merkuri menghipnotis malam semakin
hangat. Di tengan plaza terbuka, efek lampu panggung berpendaran menciptakan
warna-warna temaran membuat panggung karnaval malam ini menjadi semakin
sumringah Aku dan sejuta orang datang berduyun-duyun ke plaza pusat kota.
Puncak International Dance Modern
Culture Festival dinanti oleh ribuan orang di kotaku. Acara tersebut akan menampilkan beberapa macam tarian daerah dari
Indonesia serta
menentukan siapa yang berhak meraih penghargaan Gubernur. Termasuk tarian
langitnya, mewakili salah satu tarian modern ciptanya sendiri.
Menarikan langit adalah impian yang
mustahil. Menari di langit sama saja dengan melawan angin. Angin tak begitu
mudah goyah oleh sebuah tarian. Tarian apapun itu tak akan pernah bisa membuat
angin tunduk dan mengikuti irama tarian tersebut. Tarian langit. Menari ke
sana-sini sampai mati.
Apakah dia memang benar-benar mencari
ilham untuk menarikan langit. Untuk membuat dewa dewi ikut menari bersamanya.
Bahkan aku belum mampu menghadirkan lukisan hati untuknya. Ya, aku
mencintainya. Seorang pemimpi yang ingin menjadi penari langit.
Mulailah ia menari, dengan satu tarikan
nafas.
Aku begitu
liar menafsirkan mimpi-mimpi buruk tentang tarian langit seribu bulan. Setelah
bulan purnama berlalu berganti gerhana, dan malam menjadi semakin pekat.
Melahirkan rasa, irama, bentuk, gerak, deru nafas yang berlarian karena
mengejar tempo setiap iringan, dan panjatan doa setiap akan mengawali tarian
langitmu.
Mungkin
begitulah nasib nafasku. Nasib jiwaku. Nasib nafasmu. Nasib jiwamu.
Tak sempat ku
bersua pada Sang Cipta. Tak sempat langit bergradasi mengabarkan hari sudah
berganti. Tak sempat pula ku berpamitan dengan lelaki angan yang berambisi
sebagai penari langit. Lelaki penari langit itu sudah menjadi inspirasiku sejak lama.
Inspirasi setiap malam sunyi saat Tuhan tak menghendaki kehangatan menemani
kesendirianku. Jiwanya kutumpahkan ke dalam kanvas. Belum sempurna. Setiap
waktu luang selalu kugores warna kehidupan dalam lukisan itu. Warna kehidupan
yang kubangun dengan cinta. Aku tak sabar ingin menyelesaikannya namun aku juga
tak ingin terburu oleh nafsu. Biarlah lukisan itu berakhir seiring dengan
berakhirnya dia mencipta tarian langitnya.
“Sedikit lagi
sayang, tuntaskan tarian itu dan bersualah dengan kerinduanku.” Gumanku saat
dia berada di puncak tarian.
Saat ku
tengadahkan mata ke langit kulihat seolah langit tergugah untuk menyesap semua
energi penariku. Ia begitu megah dengan mendung bergelantungan. Burung malam
mulai bertebangan dari sarangnya. Malam semakin panas. Tubuhnya yang hanya
bertelanjang dada sudah mulai berkeringat. Napasnya memburu. Iringan musik semakin
riuh. Para penonton semakin bernapas satu-satu. Aku? Aku tak tahu yang kurasa. Aku
hanya terpana. Melihat tubuh eksotisnya, tariannya dan penghayatannya
menghipnotisku seperti biasa saat latihan sebelumnya.
Dan tiba-tiba musik
berhenti. Suara alam berhenti. Penonton menghempaskan napas mereka yang
tertahan. Aku tersadar dari hipnotis panjang. Ia berhenti menggerakkan tubuhnya
dan berlalu ke belakang panggung. Satu detik, dua detik, tiga detik. Aku sadar
kemudian begitu banyak tangan bertepuk riuh.
Lalu dengan
begitu, apakah tariannya akan menjadi sempurna?
No comments:
Post a Comment