Saya tak pernah memahami
mengapa suasana pagi bisa menjadi lebih sibuk daripada malam. Tiap pagi,
orang-orang minum kopi dan pengantar Koran mampir dari rumah ke rumah, dan
jalan mulai sibuk, bis kota sudah bertugas, tetapi segala hal yang normal di
abad ke-21 ini akan segera diletakkan terpaut dengan sesuatu yang menyebabkan
Jogja hidup: semacam budaya pop.
Begitulah pagi sebagai
pengantar hari, membuka harapan atau menutup kekecewaan karena hari telah
berganti meninggalkan masa yang mungkin sebelumnya menyenangkan atau
menyedihkan. Sehingga saya sangat ingin mencari tahu alasan mengapa sebuah pagi
begitu teramat istimewa untuk sebagian orang lewatkan.
Lalu, apa permasalahannya?
Mengapa kemudian saya harus melakukan aksi monolog, mendeksripsikan sebuah
pagi. Pagi itu relatif, karena mereka selalu mempunyai pemikiran berbeda dan
tak pernah sama. Selama mereka bisa merasakan pagi itu artinya mereka mempunyai
kesempatan untuk menambah umur mereka selama satu hari, begitu seterusnya.
Saya, tak pernah mengerti,
memiliki kebiasaan pagi. Ketika suara azan subuh bergema, saya membuka mata dan
mengerjapkan mata sebentar, menghimpun tenaga untuk bisa bangkit, walau
sebenarnya masih malas melakukan aksi bangun tidur terlalu dini. Apa daya, ada tuntutan berbuah
surga, sayang kalau saya melewatkannya. Selain itu juga memastikan saya tidak
bermimpi atau Tuhan sudah memutuskan relasi saya dengan kehidupan. Setelah
shalat subuh saya menuju dapur memasak air untuk secangkir kopi. Di dalam
kulkas saya mengambil sekaleng yogurt, dua menu itulah yang selalu saya lakukan
untuk memulai rutinitas pagi. Menikmati matahari terbit perlahan menyemburatkan
warna jingga dengan iringan musik musik jazz.
Hampir saban pukul 5.00 saya bersepada
melintasi wilayah pabrik gula Madukismo. Berpapasan dengan para pekerja pabrik
yang pulang dan datang setelah terdengar gaung pergantian shift para pekerja
gula. Saya memperhatikan wajah mereka terbagi dalam dua suasana. Pekerja yang
baru saja menyelesaikan jadwal malamnya tergambar di wajah sangat lelah,
mengantuk, lesu namun mempunyai harapan segera bersua dengan keluarga, istri
menyiapkan kopi dan penganan pembuka pagi menyambut dengan senyum. Sedangkan
yang baru saja berangkat masih mempunyai semangat melanjutkan hari yang tak pernah berhenti berputar tersebut.
Di antara beberapa wajah pekerja itu sedikit muram mungkin permasalahan di
rumah yang belum terselesaikan, harus meninggalkan anggota keluarganya yang
sakit atau hal lain. Atau justru ada yang malas untuk memulai pekerjaan sepagi
buta ini.
Dua suasana wajah itu selalu
saya jumpai dan sangat saya perhatikan. Tak pernah luput dalam benak saya
mengapa Pak A pagi ini terlihat muram, mengapa Pak B sedikit gusar, mengapa pak
C terlihat bahagia. Membuat pikiran saya selalu ingin memainkan tebak-tebakan
ekspresi.
Ada ribuan pertanyaan yang
menggelayut di benak saya. Namun tak satu pun yang saya sampaikan. Karena saya
lebih suka mempertanyakan kepada diri saya sendiri. Sejak dulu saya terbiasa
untuk bertanya ini itu, mencari jawaban dengan pengamatan saya dan menarik
kesimpulan sendiri. Sampai-sampai saya tak pernah melewatkan setiap pagi hanya
untuk melihat ribuan ekspresi para pekerja itu saya himpun menjadi dua
kategori. Wajah lesu dan wajah semangat, begitulah.
Pagi, pagi dan pagi selanjutnya
masih selalu saya cari tahu mengapa? Bahkan saya berburu filosofi pagi dari
buku dan internet. Semua orang mengatakan pagi adalah indah dan damai, pagi
adalah awal mula, pagi adalah ceria, pagi adalah senyuman perempuan kepada
kekasihnya. Atau sebaliknya, pagi adalah neraka, pagi adalah maut, pagi adalah
kekesalan istri karena suami tak mau bangun, pagi adalah penyebab anak sekolah
harus terlambat, pagi adalah siksaan anak sekolah yang harus melaksanakan upacara
pagi, pagi adalah hukuman bagi seorang tentara yang terlambat apel.
Pagi selanjutnya, saya juga tak
pernah bisa memahami mengapa bisa menjadi surga dan neraka. Karena saya tak
merasakan dua-duanya, datar dan biasa hingga tidak saya temukan pagi yang istimewa.
Sederet kesaksian pagi menjadi sebuah petaka atau hadiah. Sehingga saya
membiarkan pagi saya berjalan apa adanya. Tidak seperti para pekerja gula itu
yang melukiskan guratan sedih dan bahagia dalam satu waktu setiap pergantian
shift pagi.
Maka, ketika saya
mempertanyakan hakikat pagi kepada teman terdekat saya menggambarkan bagaimana
pagi berjalan dengan dua wajah, justru teman saya tertawa terbahak dan
mengatakan saya ini terlalu sederhana menjalani hidup. Saya masih berada dalam
batas mimpi dan kenyataan. Saya belum bisa membedakan pagi yang muram dan yang
bahagia seperti apa. Jadi kesimpulannya, saya belum cukup kuat mengalibikan
pagi dengan dua sebutan surga dan neraka sebagai simbol kebahagiaan dan
kemuraman.
Dua wajah tak bisa dijadikan
patokan. Kata teman saya. Ada banyak wajah yang tidak bisa disimpulkan ke dalam
dua kategori tersebut. Pagi yang indah menurut semua orang belum tentu indah
bagi Tuhan. Tuhan bisa saja menurunkan hujan dengan petir untuk merusak
kebagiaan pagi semua orang. Pagi yang muram menurut semua orang belum tentu
muram bagi Tuhan. Tuhan bisa saja membuat pagi lebih semarak dengan menghadirkan
pelangi selama beberapa jam, menciptakan garis-garis awal lebih tegas tanda
hari ini akan cerah tanpa hujan.
Saya frustasi. Celoteh teman
saya membuat saya pusing, mengapa harus ada perbedaan pemikiran, mengapa harus
ada kerelatifan, dan mengapa setiap pagi saya selalu berada dalam ambang mimpi
dan kenyataan. Saya berkhayal beribu wajah pagi mengerubuti saya, mendendam
kepada diri yang tak pernah puas bertanya ‘mengapa’. Saya hanya bisa berteriak
tanda mengalah, saya tak mau berdebat. Mengapa kemudian semua orang menganggap
saya gila. Bahkan, teman saya menyarankan saya harus dirujuk ke rumah sakit.
Dokter juga mengirimkan neraka ke gendang telinga saya, katanya saya mengidap
schizoprenia, khalayan saya tinggi, mengganggu setiap pekerja yang pulang pergi
dari pabrik gula, membuat resah masyarakat karena ocehan saya yang terlalu
panjang dan lebar.
Alhasil, disinilah saya. Berada
dalam bayang-bayang pagi dan semburat cahya mentari dari teralis jendela, walau
kecil namun saya bisa mengintipnya. Setiap pagi saya dijejali lima macam obat,
harus diminum sekali teguk, harus habis sesuai dosis, setiap minggu lengan saya
mendapat suntikan, bahkan lebih sering jika ocehan saya melebihi burung beo
tetangga. Setiap datang ke kamar saya setiap pagi pukul 7.00, dokter menyapa
saya dengan rona wajah bahagia, ketika saya bertanya mengapa dokter selalu
tersenyum melihat saya, dia kemudian menjawab, saya sedikit mengalami kemajuan.
Sedangkan teman karib saya selalu datang dengan wajah murung, ketika saya
bertanya, teman saya menjawab, pikiran dan imajinasi telah membuat saya
melupakan kehidupan.
Apakah saya salah, mencari
sebab pagi mempunyai dua suasana wajah seperti wajah dokter dan teman karib
saya ketika menyambangi kamar saya? Apakah saya betul-betul dianggap gila?
Sehingga tidak mendapat kesempatan menikmati secangkir kopi dan yogurt setiap
pagi? Padahal saya lebih menginginkan pagi berjalan sesuai biasanya.
Mendengarkan gaung pabrik gula dan membanding-bandingkan dua wajah hingga saya
puas menemukan jawaban. Mengapa pagi bisa memiliki dua wajah?
Saat dokter mengatakan saya
sembuh. Pikiran saya sudah berjalan normal. Saya tertawa. Sampai akhir hayat, saya
akan tetap mencari alasan mengapa suasana pagi bisa menjadi lebih sibuk
daripada malam.
Yogyakarta, 12 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment