Wednesday, 12 June 2013

Dua Wajah Pagi




       Saya tak pernah memahami mengapa suasana pagi bisa menjadi lebih sibuk daripada malam. Tiap pagi, orang-orang minum kopi dan pengantar Koran mampir dari rumah ke rumah, dan jalan mulai sibuk, bis kota sudah bertugas, tetapi segala hal yang normal di abad ke-21 ini akan segera diletakkan terpaut dengan sesuatu yang menyebabkan Jogja hidup: semacam budaya pop.

       Begitulah pagi sebagai pengantar hari, membuka harapan atau menutup kekecewaan karena hari telah berganti meninggalkan masa yang mungkin sebelumnya menyenangkan atau menyedihkan. Sehingga saya sangat ingin mencari tahu alasan mengapa sebuah pagi begitu teramat istimewa untuk sebagian orang lewatkan.
       Lalu, apa permasalahannya? Mengapa kemudian saya harus melakukan aksi monolog, mendeksripsikan sebuah pagi. Pagi itu relatif, karena mereka selalu mempunyai pemikiran berbeda dan tak pernah sama. Selama mereka bisa merasakan pagi itu artinya mereka mempunyai kesempatan untuk menambah umur mereka selama satu hari, begitu seterusnya.
       Saya, tak pernah mengerti, memiliki kebiasaan pagi. Ketika suara azan subuh bergema, saya membuka mata dan mengerjapkan mata sebentar, menghimpun tenaga untuk bisa bangkit, walau sebenarnya masih malas melakukan aksi bangun tidur  terlalu dini. Apa daya, ada tuntutan berbuah surga, sayang kalau saya melewatkannya. Selain itu juga memastikan saya tidak bermimpi atau Tuhan sudah memutuskan relasi saya dengan kehidupan. Setelah shalat subuh saya menuju dapur memasak air untuk secangkir kopi. Di dalam kulkas saya mengambil sekaleng yogurt, dua menu itulah yang selalu saya lakukan untuk memulai rutinitas pagi. Menikmati matahari terbit perlahan menyemburatkan warna jingga dengan iringan musik musik jazz.
       Hampir saban pukul 5.00 saya bersepada melintasi wilayah pabrik gula Madukismo. Berpapasan dengan para pekerja pabrik yang pulang dan datang setelah terdengar gaung pergantian shift para pekerja gula. Saya memperhatikan wajah mereka terbagi dalam dua suasana. Pekerja yang baru saja menyelesaikan jadwal malamnya tergambar di wajah sangat lelah, mengantuk, lesu namun mempunyai harapan segera bersua dengan keluarga, istri menyiapkan kopi dan penganan pembuka pagi menyambut dengan senyum. Sedangkan yang baru saja berangkat masih mempunyai semangat melanjutkan hari  yang tak pernah berhenti berputar tersebut. Di antara beberapa wajah pekerja itu sedikit muram mungkin permasalahan di rumah yang belum terselesaikan, harus meninggalkan anggota keluarganya yang sakit atau hal lain. Atau justru ada yang malas untuk memulai pekerjaan sepagi buta ini.
       Dua suasana wajah itu selalu saya jumpai dan sangat saya perhatikan. Tak pernah luput dalam benak saya mengapa Pak A pagi ini terlihat muram, mengapa Pak B sedikit gusar, mengapa pak C terlihat bahagia. Membuat pikiran saya selalu ingin memainkan tebak-tebakan ekspresi.
       Ada ribuan pertanyaan yang menggelayut di benak saya. Namun tak satu pun yang saya sampaikan. Karena saya lebih suka mempertanyakan kepada diri saya sendiri. Sejak dulu saya terbiasa untuk bertanya ini itu, mencari jawaban dengan pengamatan saya dan menarik kesimpulan sendiri. Sampai-sampai saya tak pernah melewatkan setiap pagi hanya untuk melihat ribuan ekspresi para pekerja itu saya himpun menjadi dua kategori. Wajah lesu dan wajah semangat, begitulah.
       Pagi, pagi dan pagi selanjutnya masih selalu saya cari tahu mengapa? Bahkan saya berburu filosofi pagi dari buku dan internet. Semua orang mengatakan pagi adalah indah dan damai, pagi adalah awal mula, pagi adalah ceria, pagi adalah senyuman perempuan kepada kekasihnya. Atau sebaliknya, pagi adalah neraka, pagi adalah maut, pagi adalah kekesalan istri karena suami tak mau bangun, pagi adalah penyebab anak sekolah harus terlambat, pagi adalah siksaan anak sekolah yang harus melaksanakan upacara pagi, pagi adalah hukuman bagi seorang tentara yang terlambat apel.
       Pagi selanjutnya, saya juga tak pernah bisa memahami mengapa bisa menjadi surga dan neraka. Karena saya tak merasakan dua-duanya, datar dan biasa hingga tidak saya temukan pagi yang istimewa. Sederet kesaksian pagi menjadi sebuah petaka atau hadiah. Sehingga saya membiarkan pagi saya berjalan apa adanya. Tidak seperti para pekerja gula itu yang melukiskan guratan sedih dan bahagia dalam satu waktu setiap pergantian shift pagi.
       Maka, ketika saya mempertanyakan hakikat pagi kepada teman terdekat saya menggambarkan bagaimana pagi berjalan dengan dua wajah, justru teman saya tertawa terbahak dan mengatakan saya ini terlalu sederhana menjalani hidup. Saya masih berada dalam batas mimpi dan kenyataan. Saya belum bisa membedakan pagi yang muram dan yang bahagia seperti apa. Jadi kesimpulannya, saya belum cukup kuat mengalibikan pagi dengan dua sebutan surga dan neraka sebagai simbol kebahagiaan dan kemuraman.
       Dua wajah tak bisa dijadikan patokan. Kata teman saya. Ada banyak wajah yang tidak bisa disimpulkan ke dalam dua kategori tersebut. Pagi yang indah menurut semua orang belum tentu indah bagi Tuhan. Tuhan bisa saja menurunkan hujan dengan petir untuk merusak kebagiaan pagi semua orang. Pagi yang muram menurut semua orang belum tentu muram bagi Tuhan. Tuhan bisa saja membuat pagi lebih semarak dengan menghadirkan pelangi selama beberapa jam, menciptakan garis-garis awal lebih tegas tanda hari ini akan cerah tanpa hujan.
       Saya frustasi. Celoteh teman saya membuat saya pusing, mengapa harus ada perbedaan pemikiran, mengapa harus ada kerelatifan, dan mengapa setiap pagi saya selalu berada dalam ambang mimpi dan kenyataan. Saya berkhayal beribu wajah pagi mengerubuti saya, mendendam kepada diri yang tak pernah puas bertanya ‘mengapa’. Saya hanya bisa berteriak tanda mengalah, saya tak mau berdebat. Mengapa kemudian semua orang menganggap saya gila. Bahkan, teman saya menyarankan saya harus dirujuk ke rumah sakit. Dokter juga mengirimkan neraka ke gendang telinga saya, katanya saya mengidap schizoprenia, khalayan saya tinggi, mengganggu setiap pekerja yang pulang pergi dari pabrik gula, membuat resah masyarakat karena ocehan saya yang terlalu panjang dan lebar.
       Alhasil, disinilah saya. Berada dalam bayang-bayang pagi dan semburat cahya mentari dari teralis jendela, walau kecil namun saya bisa mengintipnya. Setiap pagi saya dijejali lima macam obat, harus diminum sekali teguk, harus habis sesuai dosis, setiap minggu lengan saya mendapat suntikan, bahkan lebih sering jika ocehan saya melebihi burung beo tetangga. Setiap datang ke kamar saya setiap pagi pukul 7.00, dokter menyapa saya dengan rona wajah bahagia, ketika saya bertanya mengapa dokter selalu tersenyum melihat saya, dia kemudian menjawab, saya sedikit mengalami kemajuan. Sedangkan teman karib saya selalu datang dengan wajah murung, ketika saya bertanya, teman saya menjawab, pikiran dan imajinasi telah membuat saya melupakan kehidupan.
       Apakah saya salah, mencari sebab pagi mempunyai dua suasana wajah seperti wajah dokter dan teman karib saya ketika menyambangi kamar saya? Apakah saya betul-betul dianggap gila? Sehingga tidak mendapat kesempatan menikmati secangkir kopi dan yogurt setiap pagi? Padahal saya lebih menginginkan pagi berjalan sesuai biasanya. Mendengarkan gaung pabrik gula dan membanding-bandingkan dua wajah hingga saya puas menemukan jawaban. Mengapa pagi bisa memiliki dua wajah?
       Saat dokter mengatakan saya sembuh. Pikiran saya sudah berjalan normal. Saya tertawa. Sampai akhir hayat, saya akan tetap mencari alasan mengapa suasana pagi bisa menjadi lebih sibuk daripada malam.

Yogyakarta, 12 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment